MEI

WhatsApp Image 2020-05-02 at 11.26.16 PM

1 Mei. Belasan ribu buruh memenuhi jalanan. Berhamburan dari kantong-kantong produksi seperti semut rangrang yang terbakar sarangnya. Belasan ribu buruh memenuhi jalanan. Kepalanya menganga di depan Istana, ekornya masih meliuk di bundaran Hotel Indonesia. 1 Mei 2008, aku dan Shanty terselip di antara kepala-kepala penuh semangat memperbaiki nasib. Di pembatas jalan bus transjakarta, perut buncit Shanty naik turun. Hawa sejuk taman Monas sedikit mendinginkan suasana. Sejak mahasiswa, aku sering merayakan Hari Buruh Internasional. Memperingati perjuangan pendahulu merebut delapan jam kerja. Kini, tanpa direbut, para buruh malah disuruh bekerja dari rumah. Jam kerja kembali memanjang meski jadi lebih sering bersama keluarga.

2 Mei. Mamiku guru SMA. Almarhum Yangkung juga guru. Mertuaku juga guru. Aku kerap pula diminta mengajar, entah di kampus atau di pelatihan-pelatihan. Pendidikan mengalir dalam darah. Darah itu kini menular ke adik ipar. Sebagian waktu dia dihabiskan untuk berbagi pengalaman sebagai fotografer. 2 Mei 2008, Shanty masuk rumah sakit bersalin Duren Tiga. Kontraksi hebat. Saking mulesnya, aku iba. Kepala, tangan dan rambutku kurelakan jadi sasaran cakaran tangannya. Pembukaan mandek di dua. Tak mau nambah. Mogok, macam Vespa yang businya basah. 

3 Mei. Sejak lulus kuliah, aku tak pernah berganti profesi, jurnalis. Aku pun jarang pindah kantor. Meski dari senior, aku ditatar kredo, setialah pada profesi bukan pada perusahaan. Tapi jika boleh berbangga, aku termasuk setia. Setia pada profesi, dan juga perusahaan. Praktis, belasan tahun aku berkutat hanya di dua grup besar media. Tak percaya aku setia? Lebih dari dua puluh tahun aku tidak berganti nomor telepon seluler. Papi yang dulu membelikan nomor Simpati ini. Harganya masih ratusan ribu. Konon, jika ada orang yang suka berganti nomor telepon, ada dua kemungkinan, pertama dia berlari meninggalkan hutang. Yang kedua, dia melarikan istri orang. 3 Mei 2008, setelah seharmal, Shanty melahirkan seorang anak perempuan. Aku terguguk. Airmataku tumpah. Tangan kiriku mengelus bayi perempuanku. Tangan kanan tak lepas memegang handycam. Kala itu, kamera HP belum secanggih sekarang. Aku masih menyimpan kaset-kaset yang berisi rekaman kelahiran anak pertama kami. Kaset itu membeku, masuk kardus. Tapi anak perempuanku terus tumbuh.

 

Selamat ulang tahun Nduk!

Kamu boleh meminta makanan berbuka apa saja. Tidak hanya untuk keluarga kita, tapi juga untuk orang di luar sana. Untuk para pengais nafkah dalam bekap ancaman virus corona.

Selamat ulang tahun Nduk!

Haturkan doa-doamu ke langit. Tolong doakan keluarga kita. Doakan juga seluruh keluarga di dunia.

Selamat ulang tahun Nduk!

Terimakasih kamu sudah jadi anak penurut. Nurut saja meski difoto ala-ala dunia lain.

Selamat ulang tahun Nduk! 

Leave a comment