Pantau Gambut

Aku diundang mengikuti FGD (focused group discussion) Pantau Gambut pada Jumat pagi (16/10) secara daring. Yang hadir ada belasan peserta, dengan enam orang dari media. Ada dua yang aku kenal Hans dari Mongabay dan Kuka dari The Jakarta Post. Sisanya Nafi dari Katadata lalu Debora dan Yoesep dari Litbang Kompas. Pantau Gambut adalah wadah atau platform daring yang menyediakan akses terhadap informasi mengenai perkembangan kegiatan dan komitmen restorasi ekosistem gambut yang dilakukan oleh segenap pemangku kepentingan di Indonesia. https://www.pantaugambut.id/tentang-pantau-gambut 

Ola Abbas, Koordinator Nasional Pantau Gambut memberi kata pengantar. Lantas FGD berjalan dipandu fasilitator yang mengawali dengan games ringan, setiap peserta diminta menuliskab “Selamat Pagi” selain Bahasa Indonesia di kolom chat.

Sugeng Enjing, Gutten Morgen, Buenos Dias

Beberapa hal yang aku sampaikan, pertama-tama mengucapkan terima kasih sudah diundang dalam FGD. Ini kedua kalinya bertemu kawan-kawan Pantau Gambut. Yang pertama 2017, aku menjadi trainer pelatihan citizen journalism, melatih para relawan menjadi kontributor Pantau Gambut. Para relawan ini berlatar belakang beragam, ada aktivis lingkungan, ada warga biasa, ada juga kepala desa. Mereka belajar dasar-dasar jurnalistik untuk melaporkan apapun yang terjadi di sekitar mereka terkait gambut. Hasilnya cerita-cerita dari lapangan yang menarik dan bisa jadi sumber ide liputan bagi jurnalis.

Kedua, Indonesia memiliki lahan gambut tropis terbesar di dunia. Tidak banyak negara yang memiliki lahan gambut, antara lain Rusia, Kanada, Kongo dan Finlandia. Gambut semestinya jadi topik yang seksi untuk diangkat para jurnalis lingkungan dengan pendekatan berbagai angle. Di titik inilah, Pantau Gambut sangat strategis menjadi “one stop shopping” situs yang menyajikan informasi, data dan perkembangan mengenai “pergambutan”. Inilah potensi Pantau Gambut.

Lantas, hal ketiga yang aku sampaikan, permasalahan gambut, iblis atau biang keroknya adalah korporasi. Tiga tahun ini, Pantau Gambut masih malu-malu menunjuk hidung korporasi yang bertanggungjawab atas kerusakan gambut dan kebakaran lahan. Aku tekankan agar kedepannya, Pantau Gambut lebih asertif, memaparkan pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap kerusakan lahan gambut.

Nafi dari Katadata menyempatkan membuat presentasi yang memuat pencarian di Google mengenai beberapa hal seperti kebakaran hutan, gambut dan restorasi gambut. Belum terlalu banyak artikel mengenai gambut. Bahkan jika mengoogling kebakaran hutan maka artikel yang muncul pertama dari GAPKI Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. Sudut pandang dari korporasi pastinya. Sedangkan pencarian mengenai gambut tidak diikuti pencarian tentang restorasi gambut.

Sedangkan Hans dari Mongabay mengingatkan Pantau Gambut untuk rajin mengirimkan email jika ada perkembangan baru “Saya terima email dari Jatam seminggu dua kali,” ujar Hans. Jatam yang dimaksud Jaringan Advokasi Tambang, organisasi yang mengadvokasi permasalahan tambang dan lingkungan. Hal ini juga diamini Kuka dari The Jakarta Post yang mengakses Pantau Gambut jika sedang mengerjakan laporan jurnalistik. Notifikasi ini bisa menjadi bahan bagi jurnalis untuk meliput. Setiap hari, jurnalis dan ruang redaksi menerima puluhan bahkan ratusan undangan, pemberitahuan, permintaan beraneka liputan mulai dari konferensi pers lembaga negara, diskusi, seminar, perlombaan, peluncuran produk bahkan sampai acara ulang tahun sekolah. Dengan keterbatasan sumber daya dan halaman, maka media tentu menyusun prioritas peliputan. Setiap jurnalis biasanya mengusulkan tema liputan ke rapat redaksi. Sidang redaksi akan menimbang dengan perangkat nilai berita (news value) serta berbagai pertimbangan lain untuk memilah dan memilih usulan liputan yang akan dieksekusi. 

GO THERE, kita harus pergi kesana, ke pelosok hutan untuk meliput gambut. Agar menghasilkan cerita yang “basah” jurnalis harus pergi ke pelosok, observasi, melihat dan merekam langsung lahan gambut. Mewawancarai masyarakat dan berbagai pihak yang relevan. Di tengah kondisi pandemi COVID-19, hal ini menjadi kendala bagi jurnalis untuk meliput isu gambut.

Salah satu menu di Pantau Gambut adalah Pantau Komitmen. Menu ini semacam rapot sejauh mana pemerintah melaksanakan komitmen yang telah disepakati dan diumumkan ke publik. Aku memberi masukan, di artikel pantau komitmen bisa dikategorisasi berdasarkan pelaku (antara lain Presiden Joko Widodo, Menteri LHK Siti Nurbaya dll) kategori (review izin usaha, implementasi restorasi dll) serta status (sedang berjalan, tidak tercapai dst). Hal ini memudahkan pembaca untuk memilih informasi komitmen yang dia cari.

Yoesep dan Debbie dari Kompas juga mendorong lebih banyak cerita dari lapangan yang dilaporkan kontributor Pantau Gambut. Selain itu, perbandingan proses restorasi di negara lain juga menarik untuk ditampilkan sehingga publik Indonesia bisa belajar bagaimana negara lain mengurus lahan gambut. 

View this post on Instagram

Nasi memang masih jadi primadona makanan pokok orang Indonesia, sampai ada ungkapan “belum makan rasanya kalau belum makan nasi”. Padahal, Indonesia punya banyak pilihan sumber karbohidrat lain yang juga mengenyangkan lho. Di Indonesia, ada 77 jenis sumber karbohidrat lokal yang sudah teridentifikasi. Apa aja tuh? Banyak! ​Di antaranya ada kentang, ubi jalar, singkong, talas, jagung, sorgum, gembili, sukun, serta sagu, tanaman asli lahan gambut. Beragam pangan berkarbohidrat itu bisa diolah jadi suguhan sedap seperti yang ada di "meja makan" ini. Enggak heran Indonesia dinobatkan sebagai pemilik keragaman sumber pangan tertinggi kedua di dunia setelah Brasil. Bila dimanfaatkan secara berkelanjutan, varietas pangan lokal bisa membantu mewujudkan swasembada pangan. Indonesia pun tidak perlu lagi mengimpor beras dan gandum. Upaya ini tentu juga harus didukung dengan keseriusan pemerintah untuk mengembangkan potensi pangan lokal dengan mendampingi petani dan melindungi habitat tumbuhnya varietas tersebut, salah satunya lahan gambut yang merupakan "rumah" bagi tanaman sagu. Kamu pun bisa berkontribusi dengan menggiatkan konsumsi pangan lokal. Lezat, sehat, dan beragam, itulah pangan lokal Indonesia.​ Dijamin ketagihan! Apa pangan lokal daerahmu yang wajib dicoba? Cerita dong. Selamat Hari Pangan! #PantauGambut #HariPanganSedunia #PanganLokal #PanganBerkelanjutan #EatLocal #WorldFoodDay #Locavore

A post shared by Pantau Gambut (@pantaugambut) on

Instagram Pantau Gambut cukup menarik dengan menampilkan konten-konten visual ala komik. Tampaknya Pantau Gambut berusaha menjangkau millennial. Tugas yang tidak mudah tapi harus dilakukan, mengenalkan gambut sesuatu yang jauh dan asing bagi millennial yang mayoritas tinggal di kota-kota besar yang tak ada gambut. Saranku, (ini belum sempat aku sampaikan dalam FGD) IG Pantau Gambut jangan hanya posting visual kartun melulu. Tambahi dengan postingan foto-foto lahan gambut, kekayaan biodiversity, proses restorasi, masyarakat yang tinggal di sekitar gambut termasuk juga kerusakan lahan gambut. Agar para millennial yang belum pernah melihat langsung gambut bisa tahu seperti apa sih gambut, apa saja biodiversitas di gambut, bagaimana parahnya kerusakan lahan gambut. Dan kita berharap millennial turut berpartisipasi melestarikan lahan gambut dengan berbagai cara. 

Leave a comment