MANFAAT INTERNET MENOPANG KEMUDAHAN BEKERJA BAGI WARTAWAN TELEVISI

Live Report dengan kamera analog dan serangkaian kabel yang terhubung ke mobil SNG

Mataku yang mengantuk setelah bekerja shift malam, sontak terbelalak ketika mendengar kabar gempa menggoyang Jogja. Aku segera menelpon Mami dan adik yang tinggal di Klaten dan Jogja untuk memastikan keselamatan mereka. Tulatit…tulalit… Duh sepertinya ini banyak kerusakan sehingga mengganggu arus komunikasi seluler.

Tak tersambung. 

Sedikit panik aku menelpon Papi yang sedang bertugas di Pulau Nias. 

“Pi, Jogja gempa!!” kataku setengah berteriak.

“Disini, tiap hari juga gempa,” balas Papi yang sepertinya juga baru bangun tidur. 

Iya sih, setelah gempa dan tsunami Aceh 2004, di sekitar Nias hampir setiap hari masih bergoyang. Papi selalu tersedia tas keselamatan yang berisi air, makanan, senter, radio dan uang untuk bertahan hidup minimal tiga hari. Di kamar mandi juga selalu tergantung sarung. Jaga-jaga sewaktu mandi atau berjongkok di jamban lalu gempa melanda. Awalnya Papi masih kaget jika gempa datang, lama-kelamaan biasa juga. Makanya Papi belum terlalu hirau mendengar gempa Jogja, dipikirnya biasa saja.

Aku kembali menelpon Mami dan alhamdulillah tersambung. Mami dan adik dalam kondisi sehat dan tidak terluka. Rumah di Klaten dan Jogja aman. Tapi belum tahu kondisi rumah eyang di Gantiwarno. Karena selintingan kabar, daerah Gantiwarno, Klaten mengalami kerusakan cukup parah. Banyak rumah, bangunan yang ambruk dan korban jiwa.

Aku menunda kepulangan ke kost. Ruang redaksi Transtv di kawasan Tendean Jakarta, segera ramai. Para produser dan koordinator liputan sibuk menghela program untuk breaking news. Beberapa tim siap diberangkatkan dari Jakarta. 

Aku menghadap ke Eksekutif Produser, meminta untuk bisa juga ditugaskan ke Jogja. Ini bencana besar, bagi wartawan tentu tugas mulia untuk turun meliput dan mengabarkan ke masyarakat apa yang sedang terjadi.

Eksekutif Produser mengiyakan permintaanku tapi menyuruhku untuk istirahat terlebih dulu karena aku baru selesai shift malam beberapa hari sebelumnya.

Hari ketiga pasca gempa, aku terbang ke Solo. Mendarat di Bandara Adisumarmo lalu disambung perjalanan darat ke Jogja sebab bandara Adisucipto masih ditutup. Aku bergabung dengan tim besar yang siap dengan peralatan live report dan mobil SNG, satellite news gathering. Oleh Produser Lapangan, aku ditugaskan lagi-lagi di shift malam, menjad VJ video journalist, liputan sendirian, reporter merangkap kameraman. 

Siaap!!

Setiap malam, agenda liputanku mengecek kondisi pengungsian. Bagaimana para pengungsi tidur, apa ada bantuan yang dibutuhkan. Setelah liputan pengungsi gempa di sekitar kota Jogja selesai, berdua dengan driver, aku ke arah utara, naik ke Gunung Merapi untuk memantau kondisi Merapi yang lagi menggeliat. Biasanya aku mengambil gambar di Bebeng atau Cangkringan. Sungguh atraksi kembang api yang memesona namun menebar bahaya.

Di pekatnya malam, lontaran bunga api menguar ke angkasa lalu mengalir ke bawah bak naga api yang berebut keluar dari sarang. Liputan kulengkapi dengan data dan wawancara dari petugas pemantauan di Kaliurang. Beberapa kali aku juga meliput di kediaman Mbah Maridjan, sang juru kunci Merapi setia hingga akhir hayatnya.

Paling lambat jam 3 dini hari aku bergegas menuju kantor Telkom Indonesia yang berada di dekat Stadion Kridosono, Jogja. Feeding atau pengiriman video melalui satelit Telkom yang diterima di ruang redaksi Transtv di Tendean, Jakarta. Materi liputan untuk ditayangkan di program Reportase Pagi. Waktu itu, koneksi internet belum secepat sekarang. Wartawan televisi bergantung pada saluran satelit Telkom Indonesia. Biayanya pun lumayan mahal, $1000 per sepuluh menit. Karena itu, kameraman harus pintar mengambil gambar edit by cam atau gambar jadi. Waktu itu jaman teknologi masih analog, kamera video menggunakan kaset. Peralatan editing pun juga terbatas. Aku musti pintar merekam gambar matang maksimal 10 menit untuk dua berita termasuk wawancara.

Siaran langsung atau live report dari lapangan juga menggunakan mobil SNG, satelitte news gathering, biaya uplink pun sama $1000 per sepuluh menit. Live report membutuhkan biaya dan dukungan peralatan serta kru yang tidak murah. Bisnis televisi adalah bisnis padat teknologi dan padat modal.

Kini, seiring perkembangan jaman, teknologi internet semakin maju, semakin cepat dan semakin murah. Manfaat Internet semakin mempermudah kerja wartawan televisi. Siaran langsung atau live report dan pengiriman video bisa didukung dengan alat streaming yang bekerja menggunakan jaringan seluler. Biaya jauh lebih murah. Pengalaman tim mudik 2022 lalu, setiap hari tim lapangan hanya butuh pulsa 50 ribu per hari untuk live report dan feeding. Jauh lebih murah. Dan jauh lebih mudah sebab titik live bisa dimana saja dan feeding video bisa dimana saja, kapan saja. Pemirsa pun bisa mendapatkan perkembangan informasi terkini yang terjadi.

Indonesia negara besar dan sangat luas dengan kepulauan. Stasiun televisi mempunyai wartawan di daerah. Bahkan di setiap provinsi pasti ada wartawan baik berstatus karyawan tetap atau mayoritas kontributor. 

Dulu jaman analog, para kontributor daerah mengirim kaset liputan ke Jakarta dengan berbagai cara, lewat kereta api atau bus malam atau paket ekspedisi. Berita dari daerah yang jauh misalnya Sulawesi baru bisa tayang dua hari kemudian karena menunggu kaset tiba di ruang redaksi di Jakarta. Basi dong.

Kini, di era digital, saat Internetnya Indonesia semakin cepat dan stabil, para kontributor televisi mudah sekali mengirim berita dan video. Naskah berita dikirim via email. Lalu gambar dikirim dengan sistem FTP File Transfer Protocol atau menggunakan layanan cloud. Hasil liputan juga bisa segera ditayangkan dan masyarakat pun mendapatkan informasi terbaru. 

Dari perbincangan dengan banyak kontributor di daerah, mayoritas mereka mengandalkan IndiHome sebab jaringan IndiHome yang ditopang Telkom Indonesia menjangkau hingga ke pelosok daerah. Dengan biaya yang terjangkau dan kualitas layanan yang memadai.

MANFAAT INTERNET MENOPANG KEMUDAHAN BEKERJA BAGI WARTAWAN TELEVISI

Mataku yang mengantuk setelah bekerja shift malam, sontak terbelalak ketika mendengar kabar gempa menggoyang Jogja. Aku segera menelpon Mami dan adik yang tinggal di Klaten dan Jogja untuk memastikan keselamatan mereka. Tulatit…tulalit… Duh sepertinya ini banyak kerusakan sehingga mengganggu arus komunikasi seluler.

Tak tersambung. 

Sedikit panik aku menelpon Papi yang sedang bertugas di Pulau Nias. 

“Pi, Jogja gempa!!” kataku setengah berteriak.

“Disini, tiap hari juga gempa,” balas Papi yang sepertinya juga baru bangun tidur. 

Iya sih, setelah gempa dan tsunami Aceh 2004, di sekitar Nias hampir setiap hari masih bergoyang. Papi selalu tersedia tas keselamatan yang berisi air, makanan, senter, radio dan uang untuk bertahan hidup minimal tiga hari. Di kamar mandi juga selalu tergantung sarung. Jaga-jaga sewaktu mandi atau berjongkok di jamban lalu gempa melanda. Awalnya Papi masih kaget jika gempa datang, lama-kelamaan biasa juga. Makanya Papi belum terlalu hirau mendengar gempa Jogja, dipikirnya biasa saja.

Aku kembali menelpon Mami dan alhamdulillah tersambung. Mami dan adik dalam kondisi sehat dan tidak terluka. Rumah di Klaten dan Jogja aman. Tapi belum tahu kondisi rumah eyang di Gantiwarno. Karena selintingan kabar, daerah Gantiwarno, Klaten mengalami kerusakan cukup parah. Banyak rumah, bangunan yang ambruk dan korban jiwa.

Aku menunda kepulangan ke kost. Ruang redaksi Transtv di kawasan Tendean Jakarta, segera ramai. Para produser dan koordinator liputan sibuk menghela program untuk breaking news. Beberapa tim siap diberangkatkan dari Jakarta. 

Aku menghadap ke Eksekutif Produser, meminta untuk bisa juga ditugaskan ke Jogja. Ini bencana besar, bagi wartawan tentu tugas mulia untuk turun meliput dan mengabarkan ke masyarakat apa yang sedang terjadi.

Eksekutif Produser mengiyakan permintaanku tapi menyuruhku untuk istirahat terlebih dulu karena aku baru selesai shift malam beberapa hari sebelumnya.

Hari ketiga pasca gempa, aku terbang ke Solo. Mendarat di Bandara Adisumarmo lalu disambung perjalanan darat ke Jogja sebab bandara Adisucipto masih ditutup. Aku bergabung dengan tim besar yang siap dengan peralatan live report dan mobil SNG, satellite news gathering. Oleh Produser Lapangan, aku ditugaskan lagi-lagi di shift malam, menjad VJ video journalist, liputan sendirian, reporter merangkap kameraman. 

Siaap!!

Setiap malam, agenda liputanku mengecek kondisi pengungsian. Bagaimana para pengungsi tidur, apa ada bantuan yang dibutuhkan. Setelah liputan pengungsi gempa di sekitar kota Jogja selesai, berdua dengan driver, aku ke arah utara, naik ke Gunung Merapi untuk memantau kondisi Merapi yang lagi menggeliat. Biasanya aku mengambil gambar di Bebeng atau Cangkringan. Sungguh atraksi kembang api yang memesona namun menebar bahaya.

Di pekatnya malam, lontaran bunga api menguar ke angkasa lalu mengalir ke bawah bak naga api yang berebut keluar dari sarang. Liputan kulengkapi dengan data dan wawancara dari petugas pemantauan di Kaliurang. Beberapa kali aku juga meliput di kediaman Mbah Maridjan, sang juru kunci Merapi setia hingga akhir hayatnya.

Paling lambat jam 3 dini hari aku bergegas menuju kantor Telkom Indonesia yang berada di dekat Stadion Kridosono, Jogja. Feeding atau pengiriman video melalui satelit Telkom yang diterima di ruang redaksi Transtv di Tendean, Jakarta. Materi liputan untuk ditayangkan di program Reportase Pagi. Waktu itu, koneksi internet belum secepat sekarang. Wartawan televisi bergantung pada saluran satelit Telkom Indonesia. Biayanya pun lumayan mahal, $1000 per sepuluh menit. Karena itu, kameraman harus pintar mengambil gambar edit by cam atau gambar jadi. Waktu itu jaman teknologi masih analog, kamera video menggunakan kaset. Peralatan editing pun juga terbatas. Aku musti pintar merekam gambar matang maksimal 10 menit untuk dua berita termasuk wawancara.

Siaran langsung atau live report dari lapangan juga menggunakan mobil SNG, satelitte news gathering, biaya uplink pun sama $1000 per sepuluh menit. Live report membutuhkan biaya dan dukungan peralatan serta kru yang tidak murah. Bisnis televisi adalah bisnis padat teknologi dan padat modal.

Kini, seiring perkembangan jaman, teknologi internet semakin maju, semakin cepat dan semakin murah. Manfaat Internet semakin mempermudah kerja wartawan televisi. Siaran langsung atau live report dan pengiriman video bisa didukung dengan alat streaming yang bekerja menggunakan jaringan seluler. Biaya jauh lebih murah. Pengalaman tim mudik 2022 lalu, setiap hari tim lapangan hanya butuh pulsa 50 ribu per hari untuk live report dan feeding. Jauh lebih murah. Dan jauh lebih mudah sebab titik live bisa dimana saja dan feeding video bisa dimana saja, kapan saja. Pemirsa pun bisa mendapatkan perkembangan informasi terkini yang terjadi.

Indonesia negara besar dan sangat luas dengan kepulauan. Stasiun televisi mempunyai wartawan di daerah. Bahkan di setiap provinsi pasti ada wartawan baik berstatus karyawan tetap atau mayoritas kontributor. 

Dulu jaman analog, para kontributor daerah mengirim kaset liputan ke Jakarta dengan berbagai cara, lewat kereta api atau bus malam atau paket ekspedisi. Berita dari daerah yang jauh misalnya Sulawesi baru bisa tayang dua hari kemudian karena menunggu kaset tiba di ruang redaksi di Jakarta. Basi dong.

Kini, di era digital, saat Internetnya Indonesia semakin cepat dan stabil, para kontributor televisi mudah sekali mengirim berita dan video. Naskah berita dikirim via email. Lalu gambar dikirim dengan sistem FTP File Transfer Protocol atau menggunakan layanan cloud. Hasil liputan juga bisa segera ditayangkan dan masyarakat pun mendapatkan informasi terbaru. 

Dari perbincangan dengan banyak kontributor di daerah, mayoritas mereka mengandalkan IndiHome sebab jaringan IndiHome yang ditopang Telkom Indonesia menjangkau hingga ke pelosok daerah. Dengan biaya yang terjangkau dan kualitas layanan yang memadai.

Leave a comment